Skip to main content

Achmad Irfandi: Sosok di Balik Kampung Lali Gadget yang Inspiratif

Kampung Lali Gadget
Sumber gambar: Poros Informatif


Pernahkah kamu merasa lelah dengan terlalu banyak menatap layar? Atau mungkin kesulitan fokus karena terus-menerus terhubung dengan dunia maya? Kampung Lali Gadget menawarkan solusi. Dengan meninggalkan gadget sejenak, kamu bisa meningkatkan kreativitas, memperbaiki hubungan sosial, dan merasakan ketenangan yang selama ini kamu rindukan.

Mungkin terdengar sepele, tapi di balik itu, Achmad Irfandi melihat sebuah tantangan besar yang dihadapi oleh generasi sekarang. Ketergantungan pada gadget bukan hanya soal waktu yang dihabiskan, tapi juga efek jangka panjangnya pada kesehatan fisik, mental, dan sosial. Dengan semangatnya yang tulus, Irfandi memutuskan untuk berbuat sesuatu. Ingin tahu lebih lanjut?

Kampung Lali Gadget: Solusi Cerdas dari Achmad Irfandi untuk Atasi Kecanduan Teknologi

Kampung Lali Gadget
Sumber: duta.co

Saat dunia semakin sibuk dengan notifikasi dan layar ponsel yang tiada henti, ada oase bernama Kampung Lali Gadget (KLG). Ide ini lahir dari Achmad Irfandi, seorang pemuda yang tak hanya prihatin dengan masalah kecanduan gadget, tapi juga berani mengambil langkah nyata. Berdiri sejak 1 April 2018 di Desa Pagerngumbuk, Kecamatan Wonoayu, Kabupaten Sidoarjo, KLG menawarkan solusi alternatif bagi masyarakat yang ingin beristirahat sejenak dari dunia maya dan kembali terhubung dengan dunia nyata.

Irfandi mengajak warga untuk menikmati kegiatan-kegiatan sederhana namun bermakna. Di KLG, kamu bisa ikutan olahraga pagi sambil menikmati sunrise, berjalan-jalan santai keliling kampung, atau ikut kelas DIY untuk membuat kerajinan tangan. Tidak hanya itu, taman baca juga disediakan agar warga bisa kembali menikmati buku di sela-sela aktivitas sehari-hari. Di setiap sudut kampung ini, ada suasana yang mengundang kita untuk berhenti sejenak dari hiruk-pikuk notifikasi dan merasakan kedamaian yang sesungguhnya.

Selain itu, KLG juga berperan penting dalam menciptakan kesadaran akan pentingnya hidup sehat dan aktif. Misalnya, melalui kegiatan bersepeda bersama, warga diajak untuk lebih peduli terhadap kesehatan fisik mereka. Aktivitas ini bukan hanya tentang olahraga, tapi juga tentang membangun kembali hubungan yang mungkin sempat renggang akibat terlalu seringnya kita tenggelam dalam dunia digital.

Achmad Irfandi dan Semangat Kebersamaan di KLG

Kampung Lali Gadget
Sumber: Harian Disway

Sebagai penggerak utama KLG, Achmad Irfandi tak pernah berhenti mencari cara agar warga semakin betah berkegiatan di luar rumah tanpa bergantung pada gadget. Salah satu yang paling menarik adalah kegiatan pagi di mana warga diajak untuk berolahraga bersama, menyapa alam, dan berinteraksi langsung dengan sesama warga. Bukan hanya fisik yang sehat, tapi juga mental yang lebih tenang.

Selain itu, Irfandi juga memanfaatkan kegiatan tradisional seperti permainan rakyat dan aktivitas berkebun untuk mendekatkan warga satu sama lain. Kegiatan-kegiatan ini jadi momen penting yang mampu mempererat hubungan antarwarga, sekaligus menjadi ajang edukasi tentang hidup sehat dan pentingnya menjaga kesehatan mata dari paparan layar gadget yang berlebihan.

Program ini tak hanya berdampak pada warga desa, tapi juga menarik perhatian berbagai kalangan. Banyak orang datang dari daerah lain untuk melihat langsung bagaimana Kampung Lali Gadget berjalan. Ada yang terinspirasi untuk meniru konsep ini di kampung mereka sendiri, ada pula yang sekadar ingin merasakan suasana berbeda, jauh dari hiruk pikuk kota dan ketergantungan teknologi.

Dukungan Penuh Masyarakat dan Keberhasilan KLG

Tak hanya sekadar program, Kampung Lali Gadget telah menjadi contoh nyata bagaimana teknologi bisa disikapi dengan bijak. Program ini mendapatkan respons luar biasa dari masyarakat sekitar dan banyak daerah lain di Indonesia yang tertarik meniru keberhasilan KLG. Warga yang sebelumnya terlalu sibuk dengan gadget kini mulai menikmati kegiatan positif di dunia nyata, dari olahraga hingga berkebun, yang semuanya berkat inisiatif Achmad Irfandi.

Bukan hanya itu, KLG juga berdampak positif pada lingkungan sekitar. Dengan semakin banyaknya warga yang terlibat dalam kegiatan berkebun, lingkungan menjadi lebih asri dan hijau. Di sisi lain, pengurangan waktu menggunakan gadget juga berdampak langsung pada pengurangan konsumsi listrik dan limbah elektronik, hal kecil yang memberikan kontribusi besar terhadap pelestarian lingkungan.

Achmad Irfandi: Penggerak Pelestarian Budaya dan Lingkungan

Kampung Lali Gadget
Sumber: Good News from Indonesia 

Lebih dari sekadar mengurangi kecanduan gadget, Achmad Irfandi juga menggunakan Kampung Lali Gadget sebagai medium untuk melestarikan budaya dan lingkungan. Ia sadar, di tengah derasnya arus modernisasi, nilai-nilai tradisional mulai tergeser. Oleh karena itu, Irfandi juga menghidupkan kembali budaya lokal melalui kegiatan-kegiatan tradisional yang melibatkan masyarakat. Selain itu, kampung ini juga berfungsi sebagai sarana edukasi bagi anak-anak dan generasi muda, agar mereka mengenal lebih dalam tentang budaya Indonesia.

Berkat dedikasinya, Achmad Irfandi berhasil meraih penghargaan SATU Indonesia Awards pada 2021. Filosofi yang dipegangnya sejalan dengan CATUR DHARMA Astra, yaitu “Menjadi Milik yang Bermanfaat Bagi Bangsa dan Negara.” Irfandi telah membuktikan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari langkah kecil, dan bahwa teknologi, jika disikapi dengan bijak, tidak akan menghalangi kita untuk terus berkarya dan melestarikan budaya.

Kisah Achmad Irfandi dan Kampung Lali Gadget bukan hanya tentang mengatasi kecanduan teknologi. Lebih dari itu, ini adalah cerita tentang bagaimana kita bisa hidup lebih seimbang di tengah gempuran digital, tetap terhubung dengan sesama, dan melestarikan nilai-nilai budaya. Kampung Lali Gadget menunjukkan kepada kita semua bahwa teknologi bisa disikapi dengan lebih bijak tanpa melupakan esensi kehidupan yang sesungguhnya. Siap mencoba hidup tanpa gadget sejenak di Kampung Lali Gadget?

Comments

Paling banyak dibaca

Mengilhami Dinding Sel Supermini

Pohon mangga ( Mangifera indica ) setinggi 4 m berdiri kokoh di halaman kantor saya. Daunnya rimbun membentuk payung hidup. Saat berdiri di bawah naungannya, angin sejuk dapat saya rasakan. Tentu saja, oksigen sebagai hasil metabolisme tanaman anggota family Anacardiaceae itu membersihkan karbondioksioda di udara dan digantikan oleh unsur yang bersifat oksidator. Pantas jika setiap orang yang ternaungi, tak hanya terlindung dari terik matahari, tetapi juga merasa segar. Pohon mangga (kredit: irwantoshut.net )        Tanaman itu sangat kokoh dan konsisten berdiri bertahun-tahun bahkan kian tinggi. Meski tidak memiliki rangka seperti hewan dan manusia, tanaman (tak hanya mangga) memiliki rangka-rangka dalam berukuran mikroskopis. Rangka-rangka itu dapat disebut dinding sel. Sebenarnya tidak tepat jika saya mengatakan bahwa dinding sel adalah rangka dalam (endoskeleton) tanaman, tetapi fungsinya mirip dengan sistem rangka pada tubuh hewan. Itu terbukti pada fungsinya yang memberi be

Jamur blotong Nama Ilmiahnya Ternyata Coprinus sp.

Saya menduga jamur yang selama ini saya beri nama jamur blotong nama ilmiahnya Coprinus sp. Setiap usai musim giling, biasanya musim hujan, saya dan tetangga berburu jamur ini di tumpukan limbah blotong di dekat Pabrik Gula Wringin Anom, Situbondo. Jamur Coprinus sp . tumbuh di blotong Asli, kalau sudah tua, payungnya akan berwarna hitam seperti tinta dan meluruh sedikit demi sedikit Sudah sekian lama mencari tahu, berkat tulisan saya sendiri akhirnya saya tahu namanya, meski belum sampai ke tahap spesies . Jamur yang bisa dimakan ini tergolong dalam ordo dari Agaricales dan masuk dalam keluarga Psathyrellaceae. Selain itu, jamur ini juga suka disebut common ink cap atau inky cap (kalau benar nama ilmiahnya Coprinus atramentarius ) atau Coprinus sterquilinus (midden inkcap ) . Disebut begitu karena payungnya saat tua akan berwarna hitam dan mencair seperti tinta. Nama yang saya kemukakan juga berupa dugaan kuat, bukan berarti benar, tapi saya yakin kalau nama genusnya Copr

Menggali Rasa dan Inovasi Kopi Lokal di Setiap Seruput

Dibuat menggunakan Canva Setiap seruput kopi menyimpan cerita yang tak terduga, mulai dari ladang petani hingga ke cangkir kita. Apa jadinya jika kita bisa merasakan perjalanan rasa itu dengan lebih mendalam, dari setiap proses pengolahan biji hingga teknik penyeduhan yang memikat? Sebuah Warisan yang Harus Dilestarikan Gambar pribadi (@uwansart) Indonesia memang istimewa, terutama dalam hal kopi. Di sini, dari Sabang sampai Merauke, kita punya beragam jenis kopi dengan cita rasa yang kaya dan unik. Setiap daerah, dari Aceh sampai Papua, menawarkan sensasi kopi yang berbeda-beda, masing-masing menyimpan cerita dan karakteristik yang khas. Keberagaman inilah yang membuat kopi Indonesia begitu istimewa dan kian diakui dunia internasional. Saat ini, Indonesia bahkan tercatat sebagai penghasil kopi terbesar ke-4 di dunia—sebuah pencapaian yang tentunya patut dibanggakan. Dalam acara Eco Blogger Squad yang berlangsung dengan penuh semangat, meskipun aku hanya menyaksikan secara online melal

Golda Coffee dan Kopi ABC Botol, Kopi Kekinian, Kopi Murah Cuma 3000an

Kamu suka kopi hitam pekat, kopi susu, kopi kekinian, atau yang penting kopi enak di kedai kopi? Mungkin kita sering sekali nongkrong bersama teman di kedai kopi mencoba berbagai aneka ragam kopi, mahal pun tak masalah, tapi yang jadi persoalan jika sedang miskin, apakah akan tetap nongkrong? Pilihannya ya minuman murah, misalnya kopi murah dan kopi enak yang cuma 3000an ini.   Aku, Uwan Urwan, memang bukan penikmat kopi banget, tapi suka minum kopi, kadang sengaja mampir ke kedai kopi punya teman, paling sering membeli kopi Golda Coffee dan/atau Kopi ABC Botol, yang harganya hanya 3000an. Aku akan mencoba mereview empat rasa dari dua merek yang kusebut sebelumnya. Golda Coffee kutemukan di minimarket punya dua rasa, yaitu Golda Coffee Dolce Latte dan Golda Coffee Cappucino. Sementara Kopi ABC botol juga kutemukan dua rasa, chocho malt coffee dan kopi susu.   Keempat rasa kopi kekinian kemasan itu aku pikir sama karena biasanya hanya membeli, disimpan di kulkas, dan langsung ku

Bunga Telang Ungu (Clitoria ternatea) Jadi Alternatif Pengganti Indikator PP Sintetis

Makin ke sini, ketenaran bunga telang (Clitoria ternatea L.) kian meluas. Banyak riset terbit di internet, juga tak ketinggalan pecinta herbal dan tanaman obat ikut berkontribusi memperluas infromasi itu.  Bunga telang ungu, tanaman yang juga dikenal dengan nama butterfly pea itu termasuk endemik karena berasal dari Ternate, Maluku, Indonesia. Meski begitu, banyak sumber juga mengatakan bahwa bunga telang berasal dari Afrika, India, Amerika Selatan, dan Asia tropis. Banyak info simpang siur karena sumber-sumber yang aku baca pun berasal dari riset-riset orang. Nanti jika ada waktu lebih aku akan melakukan riset lebih dalam mengenai asal usulnya. Antosianin bunga telang merupakan penangkal radikal bebas Kredit : researchgate.net Bunga telang kaya akan antosianin. Antosianin adalah golongan senyawa kimia organik berupa pigmen yang larut dalam air, menghasilkan warna oranye, merah, ungu, biru, sampai hitam. Tak hanya pada bunga Clitoria ternatea, antosianin juga ada di banyak buah dan say

Batik Mangrove, Qorry’s Journey in Conservation & Heritage

I feel like when I wear batik, I look more elegant and even more handsome. Haha! I have to admit, there was a time when I considered batik to be old-fashioned. The designs didn't appeal to me, and I saw it as something my parents or grandparents would wear on formal occasions. But everything changed for me on October 2, 2009, when UNESCO officially recognized batik as an Intangible Cultural Heritage. Suddenly, batik wasn’t just a piece of cloth anymore; it was a symbol of identity, culture, and pride for the Indonesian people. Designers started experimenting with patterns, and batik garments became more fashionable. I found myself buying batik shirts to support our cultural heritage, and my love for batik grew deeper as I discovered the beautiful artistry behind it. Batik, with its intricate techniques, symbols, and cultural significance, has been a part of Indonesia's identity for centuries. It wasn’t long before batik from various regions, including my hometown of Situbondo,

Energi Alternatif: Antara Ketergantungan Listrik dan Kerusakan Lingkungan

Dalam dunia yang semakin modern ini, melalui sorotan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, aku mengembara melihat perubahan perilaku rumah tangga secara menyeluruh di Indonesia. Televisi menjadi kawan setia dengan kehadiran mencapai 97,36%, diikuti oleh kulkas, mesin cuci, dan kipas angin yang melibas sekitar 96,72%, 86,62%, dan 96,13% dari rumah tangga. Di sisi lain, perabotan modern seperti kompor listrik dan setrika listrik menyentuh kehidupan 82,11% dan 93,22% rumah tangga. Ketergantungan Indonesia pada Listrik dan Dampak Negatif Lingkungan pada Perubahan Iklim Tak hanya itu, alat elektronik memainkan peran sentral dalam kehidupan sehari-hari. Laptop menjadi penguasa dengan persentase 67,45%, sementara handphone mendominasi dengan keterpaparan mencapai 99,13%. Meski komputer, tablet, kamera digital, dan perangkat lain memiliki penetrasi yang beragam, kesimpulannya tetap jelas: masyarakat Indonesia telah menggenggam era listrik dengan tangan terbuka. Persentase tinggi ini men

Bagaimana menu isi piringku yang benar?

Sering mendengar frase Isi Piringku? Hem, sebagian orang pasti tahu karena kampanye yang dimulai dari Kementerian Kesehatan ini sudah digaungkan di mana-mana, mulai dari media sosial, workshop-workshop kesehatan di daerah-daerah, dan sosialisasi ke ibu-ibu begitu ke Posyandu.  Slogan Isi Piringku menggantikan 4 Sehat 5 Sempurna Isi Piringku adalah acuan sajian sekali makan. Kampanye ini sudah diramaikan sejak tahun 2019 menggantikan kampanye 4 sehat 5 sempurna. Empat sehat lima sempurna terngiang-ngiang sekali sejak kecil. Terdiri dari nasi, lauk-pauk, sayur-mayur, buah-buahan, dan susu adalah kombinasi sehat yang gizinya dibutuhkan tubuh, sebab mengandung karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral, susu adalah penyempurnanya. Kenapa harus berganti slogan?  Slogan 4 Sehat 5 Sempurna yang aku tangkap maknanya, dalam setiap makan harus ada empat komposisi dan susu. Mengenai jumlahnya, aku bisa ambil nasi lebih banyak dengan sedikit sayur atau sebaliknya, atau sebebas-bebasnya kita saja.

Alun-alun Situbondo Dulu dan Sekarang

Alun-alun ibarat pusat sebuah kota, semua orang bisa berkumpul di tempat itu untuk berbagai kegiatan, sebagai ruang publik, ruang sosial, dan ruang budaya. Alun-alun sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit. Umumnya alun-alun dikelilingi oleh masjid, pendopo, penjara, dan area perkantoran dan dibatasi oleh jalan. Dulunya area ini dipagari Begitu pun Alun-alun Situbondo, batas selatan adalah pendopo, batas barat adalah Masjid Agung Al-Abror, batas timur adalah penjara, dan area perkantoran ada di bagian utara. Dulu, ada pohon beringin besar di tengah-tengah alun-alun Situbondo. Aku tidak ingat betul seberapa besar tapi yang aku tahu dulu ada di tengah-tengah. Masjid Al-Abror juga sudah jauh lebih bagus sekarang Alun-alun Situbondo pernah punya pohon beringin besar Gerakan protes pada akhir masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, tahun 2001, memicu gerakan besar yang menumbangkan sekitar seratus pohon, termasuk pohon beringin di alun-alun karena dianggap sebagai simbol partai Golka

A Call to Embrace Eco-Friendly Fashion

Kredit: Instagram @nurmanfarieka On a bright morning, as I wandered in search of eco-friendly local leather shoes, I stumbled upon a trail of hope—leading to an extraordinary story of Hirka, a brand of chicken foot leather shoes crafted by Nurman Farieka Ramdhany in Bandung. This journey became my connection to a future where fashion and sustainability walk hand in hand. The Hidden Treasure: Chicken Foot Leather as a Sustainable Fashion Material In today's world, luxury items are often flaunted as a must-have for the elite. Yet, many may not realize that a significant portion of these products comes from the wild, using animal skins that are not sourced through ethical breeding but through capture and exploitation. This raises the question: How can we, as part of a global community, rethink the way we approach fashion? In 2015, Nurman Farieka Ramdhany embarked on an inspiring journey of environmental care and innovation. Guided by his father, a leather research expert with over two