Moh. Imron adalah bukti nyata bahwa semangat, kerja keras, dan cinta pada ilmu bisa membawa perubahan nyata bagi komunitas. (Kredit foto: Moh. Imron) |
Di sebuah sudut kecil Situbondo, ada seorang pria yang menjalani hidupnya dengan kesederhanaan, namun penuh mimpi besar. Namanya Moh. Imron, sosok yang kini dikenal sebagai direktur takanta, sebuah komunitas literasi yang menjadi rumah bagi banyak penulis terutama di Situbondo. Meski begitu, Imron bukanlah seseorang yang langsung dilahirkan sebagai penggerak. Masa kecil hingga remajanya lebih sering diwarnai rasa minder daripada percaya diri.
Dari Anak Pemalu Menjadi Sosok Berani
Ilustrasi dibuat menggunakan Canva |
Dulu, Imron adalah remaja yang merasa tertinggal. Saat teman-temannya sibuk dengan ponsel dan berbagai aktivitas, ia bahkan tidak memiliki telepon genggam. Pelajaran TIK di sekolah menjadi momok karena ia tak pernah menyentuh komputer sebelumnya. Tapi rasa minder itu justru menjadi titik awal perjalanan perubahan.
Imron memutuskan untuk mengambil kursus komputer di Jalan Madura. Di sana, ia belajar Microsoft Word. Ia juga bergabung dalam ekstrakurikuler Pramuka di sekolah, bukan karena ingin menonjol, tetapi untuk belajar bicara di depan umum dan mengatasi rasa takutnya terhadap interaksi sosial. Perlahan, ia mulai mengenal dunia luar, sedikit demi sedikit menumbuhkan keberanian yang sebelumnya tak pernah ia miliki.
Namun, saat kuliah, rasa percaya diri itu belum sepenuhnya tumbuh. Ia masih menjalani hari-harinya tanpa hobi yang benar-benar ia tekuni. Hingga suatu hari, saat semester tiga, Imron mulai bekerja sebagai operator warnet. Dari tempat itulah dunia barunya mulai terbuka.
Di depan layar komputer warnet, Imron belajar Photoshop secara otodidak. Ia juga membaca cerita-cerita di internet, menonton film, mendengarkan musik, dan bahkan mencoba belajar breakdance lewat video YouTube. Awalnya ia malu, tetapi rasa penasaran membawanya untuk terus mencoba. Tak lama kemudian, ia berhasil menari dengan percaya diri di alun-alun Situbondo.
Tahun 2014, Imron bergabung dengan komunitas Backpacker Situbondo. Keputusan ini bukan hanya karena ingin jalan-jalan, tetapi juga untuk mengenal kotanya lebih dalam. Bersama komunitas itu, ia menjelajahi sudut-sudut Situbondo, mulai dari lokasi sejarah hingga destinasi wisata tersembunyi. Di setiap perjalanan, ia menemukan cerita, sejarah, dan keindahan yang sebelumnya tak pernah ia bayangkan.
Warnet juga menjadi tempat yang mempertemukannya dengan dunia fotografi. Kamera sederhana di ponselnya menjadi alat untuk merekam keindahan dunia dari sudut pandangnya sendiri.
Imron mungkin tidak langsung tahu apa yang ia inginkan, tapi ia selalu punya keberanian untuk mencoba hal baru. Dan dari setiap percobaan itulah, ia tumbuh menjadi pribadi yang lebih percaya diri dan tangguh.
Menemukan Dunia Literasi di KPMS
Website KPMS masih bisa diakses bebas lho |
Perjalanan Imron menuju dunia literasi dimulai dari sebuah layar komputer di warnet kecil. Awalnya, ia hanya membaca cerpen-cerpen sederhana yang ia temukan di berbagai situs. Tapi dari setiap kalimat yang ia baca, muncul rasa ingin tahu yang perlahan berubah menjadi hasrat untuk menulis. “Kenapa tidak mencoba menuliskannya sendiri?” pikir Imron.
Dari situ, ia mulai mencoba. Tentu, hasil awalnya jauh dari sempurna. Namun, Imron menyadari bahwa menulis bukan hanya tentang merangkai kata, melainkan juga proses untuk memahami diri sendiri dan menyampaikan cerita yang ia rasakan. Untuk mengasah kemampuannya, ia mencari lingkungan yang bisa mendukung keinginannya. Hingga akhirnya, ia menemukan Komunitas Penulis Muda Situbondo (KPMS).
KPMS adalah sebuah komunitas yang didirikan oleh Famelia pada November 2013. Waktu itu, komunitas ini baru mengadakan satu kali pertemuan, dan anggotanya masih sedikit. Imron bergabung di bulan Januari 2014, ketika KPMS baru saja mengalami pergantian kepemimpinan ke Ardi Prasetyo.
Di komunitas inilah, Imron mulai serius belajar menulis. Ia terlibat aktif dalam berbagai kegiatan komunitas, mulai dari diskusi literasi hingga menyusun buletin untuk acara Festival Kampung Langai pertama. Keterlibatan ini membuat Imron semakin percaya diri, hingga pada akhir tahun 2014, ia dipercaya untuk menjadi ketua KPMS.
Menciptakan Ruang untuk Berkarya
Kredit foto: KPMS |
Sebagai ketua KPMS, Imron memiliki visi besar: ia ingin menjadikan komunitas ini sebagai rumah bagi para penulis muda Situbondo. Langkah pertama yang ia ambil adalah membuat buletin karena dipercaya untuk membuat Buletin ini diterbitkan untuk acara Festival Kampung Langai pertama, sebagai wujud nyata karya kolektif KPMS. Tidak berhenti di situ, pada tahun 2014, Imron bersama anggota KPMS menerbitkan buku pertama mereka, Satu Pena Untukmu. Buku ini adalah kumpulan puisi yang dibuat secara mandiri—dari layout hingga cetak.
Tahun berikutnya, KPMS kembali membuat gebrakan dengan menerbitkan Dermaga Patah Hati, kumpulan cerpen yang melibatkan para penulis lokal seperti Ahmad Sufiatur Rahman, Sungging Raga, Raisa, dan lain-lain. Proses ini memperluas jejaring literasi KPMS, sekaligus membuka ruang kolaborasi dengan banyak penulis baru di Situbondo.
Lesehan Baca dan Warisan Literasi
Di bawah kepemimpinan Imron, KPMS tidak hanya berhenti pada penerbitan buku. Pada tahun 2016, komunitas ini menginisiasi program Lesehan Baca, sebuah ruang literasi terbuka di alun-alun Situbondo. Awalnya, program ini hanya memiliki enam buku. Namun, berkat sumbangan dari berbagai pihak, jumlah koleksinya bertambah hingga lebih dari 200 buku.
Program Lesehan Baca berhasil menarik perhatian banyak orang, terutama anak-anak. Sayangnya, karena kekurangan koleksi buku anak, program ini akhirnya diambil alih oleh Perpustakaan Daerah pada tahun 2017. Meski begitu, semangat yang dibawa Lesehan Baca masih terasa hingga kini.
takanta.id adalah Wujud Mimpi Siang Bolong
Kita bisa mengakses website takanta.id kapan saja |
Mimpi itu kadang hadir begitu saja, mengendap di dalam kepala, menunggu keberanian untuk diwujudkan. Begitu pula yang dirasakan Imron ketika awal 2017, ia dan teman-temannya mulai berbicara tentang sebuah website yang bisa menjadi wadah bagi para penulis di Situbondo. Awalnya sederhana: menciptakan ruang untuk menulis, belajar, dan berbagi cerita. Namun, seperti halnya mimpi, ada perjuangan panjang untuk mewujudkannya.
Merumuskan Nama
Nama selalu menjadi hal yang penting, terlebih untuk sebuah platform yang diharapkan hidup lama. Awalnya, Imron menginginkan nama yang kental dengan nuansa lokal, seperti situbende.co atau situbondo.com. Namun, berbagai kendala muncul. Nama-nama itu sudah digunakan atau sulit diakses. Hingga akhirnya, sebuah pertemuan dengan almarhum Cak Rusdi menjadi titik terang. Cak Rusdi menyarankan nama yang sederhana dan mudah diingat, dua suku kata yang lekat di kepala. Dari diskusi itulah, tercetus nama takanta.id—singkat, unik, dan menyimpan makna canda atau kehangatan dalam bahasa Madura.
Nama sudah dipilih, tapi perjuangan baru saja dimulai. Imron bersama teman-teman berinisiatif patungan untuk membeli domain. Kebetulan, waktu itu ada promo yang membuat biaya sedikit lebih ringan. Meski demikian, tak ada yang mudah. Dari mencari template gratis hingga mengelola konten secara mandiri, Imron menjadi tulang punggung bagi takanta.id. Ia mendesain, mengunggah tulisan, hingga mempublikasikan semuanya sendiri.
“Dulu modal nekat saja,” katanya mengenang. Namun, kenekatan itu berbuah manis. Takanta.id perlahan menjadi tempat belajar dan berbagi.
takanta Menjadi Tempat Bertumbuh dan Mengenal Situbondo
Awalnya, takanta.id hanya diisi oleh tulisan-tulisan anggota komunitas. Fokusnya sederhana: belajar bersama lewat karya. Namun, di tahun 2018, salah satu anggota mengusulkan agar platform ini terbuka untuk penulis dari luar komunitas. Ide itu disambut hangat. Sejak saat itu, siapa saja bisa mengirimkan tulisan ke takanta.id.
Dengan visi yang terus berkembang, takanta.id mulai memfokuskan diri untuk mengenalkan Situbondo. Tulisan-tulisan tentang kota kecil ini menjadi ciri khasnya, memberikan keseimbangan di tengah media lokal yang sering kali hanya menyoroti berita kriminal. “Kami ingin menciptakan konten yang bisa dibaca kapan saja, bahkan lima tahun ke depan tetap relevan,” ujar Imron.
Fokus Takanta tidak hanya pada fiksi, tapi juga nonfiksi. Tujuannya besar: membangun literasi di Situbondo dan memberikan ruang eksplorasi bagi warganya. Dalam perjalanannya, Takanta juga melibatkan komunitas melalui berbagai kegiatan, seperti bedah buku, workshop, hingga acara sastra di Kayumas. Salah satu pencapaian besar mereka adalah menghadirkan Mas Putut EA, seorang penulis ternama, dalam sebuah workshop di tahun 2017.
Tantangan dan Harapan
Membangun Takanta tidak lepas dari berbagai tantangan. Keterbatasan sumber daya manusia dan finansial menjadi hambatan utama. Sebagai platform yang berbasis sosial, Takanta tidak mencari keuntungan. Semua dilakukan dengan semangat kebersamaan. Bahkan untuk mendanai kegiatan, mereka masih mengandalkan urunan.
Namun, Imron dan teman-temannya tidak menyerah. Mereka mulai membangun legalitas melalui pendirian CV dan media online. Dengan ini, Takanta bisa menjalin kerja sama dengan pemerintah dan pihak lain secara resmi. Ia juga berharap, Takanta mampu memberikan apresiasi kepada para penulis, sehingga karya yang diterbitkan tidak hanya menjadi ‘gratisan’.
Menatap Masa Depan
Salah satu buku karya takanta |
Kini, dengan segala tantangan yang ada, Takanta tetap berdiri tegak. Lebih dari 30 buku telah diterbitkan, meski distribusinya masih terbatas di Jawa Timur. Bagi Imron, karya-karya Takanta tidak hanya tentang penerbitan, tapi juga bagaimana karya tersebut bisa menarik pembaca, minimal secara lokal.
“Proses setelah menerbitkan itu yang berat,” katanya. Namun, ia yakin dengan semangat kolektif, Takanta bisa menjadi komunitas literasi yang mandiri, menginspirasi, dan memberikan makna bagi masyarakat Situbondo. Mimpi itu masih terus hidup, menunggu untuk terus diceritakan.
Perjalanan Cinta yang Tak Terduga
Di balik sosok inspiratif Mas Imron, ada keluarga yang selalu menjadi kekuatan dan pelengkap perjuangannya. |
Ada yang bilang, cinta datang dengan cara paling tak terduga. Itulah yang dialami Imron, seorang pemuda yang berpetualang dalam dunia literasi, hingga takanta mempertemukannya dengan belahan jiwanya. Semua bermula dari sebuah buku yang, ironisnya, lahir dari kekecewaan.
Pada 2018, setelah berjuang selama bertahun-tahun dengan karya-karya yang ia tulis menggunakan ponsel Samsung Young usang, Imron memutuskan mencetak bukunya secara indie. Dengan modal hasil pinjaman, ia mencetak 150 eksemplar. Namun, buku itu membawa masalah: halaman kosong, cerita yang terputus, dan keluhan pembeli. Meski kecewa, ia menarik buku-bukunya dan mengurus penggantian di percetakan di Jogja, sebuah proses panjang yang memakan waktu lima bulan.
Saat buku-buku yang diretur telah kembali ke tangan pembeli, tersisa satu buku yang belum sampai kepada pemiliknya: seorang perempuan, seorang guru di SDN 1 Arjasa. Perempuan itu membutuhkan buku Imron untuk menambah literatur dan mengikuti lomba. Mereka bertemu di alun-alun, sebuah tempat yang menjadi saksi banyak cerita. Obrolan pertama mereka ringan, tentang sekolah, anak-anak, dan kehidupan. Namun, percakapan yang awalnya sederhana itu menjelma menjadi hubungan yang mendalam. Mereka terus berkomunikasi, berbagi cerita, dan saling memahami.
Imron merasa nyaman dengan perempuan itu. Hingga pada 2019, ia memutuskan untuk melamarnya. Segala persiapan telah dilakukan: seserahan, rencana tunangan, hingga cincin yang tinggal dibeli. Namun, satu minggu sebelum acara, ia menghadapi kendala. Imron tidak punya uang untuk membeli cincin.
Keajaiban datang melalui kontes desain yang ia ikuti di platform 99designs. Dengan bantuan temannya, Anwar, yang menyelesaikan file desain menggunakan software yang berbeda, Imron berhasil menjadi pemenang. Hadiahnya, $130 atau sekitar 1,7 juta rupiah, cukup untuk membeli cincin. Hanya lima hari sebelum hari tunangan, ia mendapatkan apa yang dibutuhkan.
Pernikahan mereka menjadi bukti bahwa literasi tidak hanya membangun jiwa, tetapi juga bisa menyatukan hati. Kini, kehidupan rumah tangga Imron penuh warna. Ia menjalani perannya sebagai suami dan ayah sambil tetap aktif di komunitas literasi.
Inspirasi dari Seorang Imron
Kisah Imron adalah tentang perjalanan yang tidak biasa. Dari anak pemalu yang berkawan dengan kata, hingga menjadi sosok yang menggerakkan literasi di Situbondo. Perjalanan hidupnya mengajarkan bahwa mimpi, meski sederhana, bisa membawa seseorang ke tempat-tempat luar biasa. Takanta adalah bukti kecil dari tekad besar seorang Imron, sebuah tempat yang menyimpan harapan untuk masa depan literasi. Bagi siapa pun yang membaca kisah ini, ingatlah: tak ada yang mustahil bagi mereka yang berani bermimpi dan terus belajar.
Comments