Skip to main content

Fauzi, Sosok di Balik Gerakan Pemuda dan Musik Situbondo

Ahmad Fauzi berdiri di tengah kebunnya, dikelilingi tanaman hijau yang subur, mencerminkan dedikasinya pada alam dan seni tradisional.
Ahmad Fauzi berdiri di tengah kebunnya

Aku tak menyangka akan menemukan sesuatu yang begitu luar biasa di sudut kecil Situbondo ini. Sebuah lahan hijau yang tertata rapi, penuh dengan kehidupan dan harapan. Greenhouse sederhana berdiri kokoh, dikelilingi jaring halus sebagai tempat pembibitan. Di sekitarnya, deretan tanaman sayur tumbuh subur—terong, cabai, kacang panjang, kelor, sawi, serai, pepaya, hingga okra. 

Tak jauh dari situ, ada kolam ikan yang airnya berkilauan di bawah sinar matahari. Area lain dipenuhi tanaman obat, masing-masing telah diberi papan nama, seolah memberi isyarat bahwa tempat ini bukan sekadar kebun, melainkan sumber ilmu dan kehidupan.

Di tengah lahan, toren biru mencolok berdiri tinggi, menjadi sumber pengairan utama. Pemandangan ini semakin kontras karena lahan ini dihimpit oleh sawah dan rumah penduduk. 

Toren air biru berdiri di tengah kebun hijau, dikelilingi tanaman sayur yang tumbuh subur.
Toren biru ini bukan sekadar tempat penyimpanan air, tapi sumber kehidupan bagi tanaman sayur yang tumbuh hijau di sekitarnya.

Ketika aku sibuk mengamati sekeliling, seorang pemuda datang menyambutku dengan ramah. Namanya Ahmad Fauzi, pria 35 tahun yang penuh semangat dan dedikasi terhadap lingkungan dan masyarakat.

Mengapa Berkebun? Mengapa Tidak?

Fauzi bukanlah seorang pegawai kantoran yang berjas rapi setiap pagi. Ia memilih jalan yang berbeda—jalan yang tak banyak dilalui oleh generasi muda. “Orang sering bertanya kenapa aku lebih suka berkebun daripada kerja kantoran. Jawabannya sederhana, aku ingin melakukan sesuatu yang lebih nyata, lebih berdampak bagi sekitarku,” katanya sambil tersenyum.

Ahmad Fauzi menatap kamera dengan penuh keyakinan, mencerminkan semangat dan dedikasinya dalam membangun perubahan.

Fauzi memang sudah lama tertarik dengan alam. Kecintaannya terhadap lingkungan membawanya bergabung dengan komunitas pecinta alam. Ia menjelajahi berbagai tempat, mendaki gunung, dan menyusuri sungai, merasakan sendiri bagaimana alam begitu berharga, namun sering diabaikan oleh manusia. Dari sanalah tekadnya tumbuh: ia ingin berkontribusi kepada masyarakat dan memberikan contoh nyata bahwa menjaga lingkungan bisa dilakukan siapa saja, bahkan tanpa anggaran besar.

Mengajak Pemuda untuk Bergerak

Fauzi tak ingin berjalan sendirian. Ia sadar bahwa perubahan tidak akan terjadi jika hanya dilakukan seorang diri. Maka, ia mulai mengajak pemuda-pemuda di desanya untuk berkegiatan bersama.

Dokumentasi lama Argelo (Arek Gelugur Laok)
Salah satu dokumentasi kelompok Argelo (kredit: Facebook Ahmad Fauzi)

Tahun 2015, teman-teman di desanya membentuk komunitas pemuda bernama Argelo (Arek Gelugur Laok), yang awalnya adalah kelompok olahraga voli. Kebetulan Fauzi ikut bergabung ke dalam tim tersebut. Saat itu, turnamen voli sedang populer di Situbondo, dan Argelo menjadi wadah bagi anak muda untuk menyalurkan energi positif mereka. Namun, seiring waktu, anggotanya mulai sibuk dengan pekerjaan dan keluarga, membuat aktivitas voli perlahan meredup.

Baca juga : Imron, Penggerak Literasi dari Desa Trebungan, Situbondo


Bukannya menyerah, Fauzi justru melihat ini sebagai peluang untuk bertransformasi. Daripada nama Argelo tidak termanfaatkan, ia memakai dan meneruskan nama Argelo ke arah yang lebih luas, tidak hanya olahraga, tetapi juga gerakan sosial dan lingkungan.

Dari Membersihkan Selokan hingga Bank Sampah

Generasi kedua Argelo lahir pada tahun 2018, ketika Fauzi dan rekan-rekannya mulai fokus pada kebersihan lingkungan. Mereka membersihkan selokan dan jalanan desa yang dipenuhi sampah dan kotoran ternak. Namun, tak semua orang menyambut baik upaya mereka. Beberapa warga justru terlibat konflik. Selain itu program ini tidak berjalan maksimal.

Karena kegiatan ini menimbulkan gesekan sosial, Fauzi mengalihkan fokus ke gerakan penghijauan. Bersama para pemuda, ia mulai menanam pohon buah seperti nangka, jambu, dan delima di sepanjang jalan desa. Ia berharap bahwa ketika pohon-pohon ini tumbuh, masyarakat akan menyadari manfaatnya dan ikut menjaga lingkungan.


Namun, tantangan terbesar dalam gerakan ini adalah keterbatasan dana. Sebagian besar biaya pembelian bibit berasal dari kantong pribadi Fauzi, meski ada juga sumbangan dari teman-teman. Meski begitu beberaoa keberhasilan kegiatan penanaman itu berdampak pada mahasiswa KKN yang kebetulan ikut terlibat dan saat tanaman buah panen, warga bisa menikmatinya juga. Selain itu, ada yang berniat membeli buah delima sehingga uangnya dialihkan untuk pembayaran PDAM di kuburan umum.

Dari sana, Fauzi mulai mencari cara agar gerakan ini bisa lebih berkelanjutan. Ia pun mendirikan bank sampah, sebuah program yang mengajak warga untuk menabung sampah anorganik mereka, yang kemudian dikumpulkan, dipilah, dan dijual kembali.

Proses pemilahan sampah berdasarkan jenisnya, langkah awal untuk menjaga lingkungan tetap bersih dan berkelanjutan
Inilah dokumentasi dari Ahmad Fauzi, yang terus menggerakkan kesadaran akan pentingnya pengelolaan sampah di desanya.

Bank sampah ini sempat berkembang pesat. Dengan modal awal Rp50.000, mereka akhirnya mampu membeli timbangan sendiri, bahkan memiliki gerobak untuk mengangkut sampah. Pendapatan dari bank sampah digunakan untuk mendukung berbagai kegiatan sosial dan perayaan desa. Sayangnya, karena banyak anggota yang mulai bekerja dan menikah, jumlah relawan semakin berkurang. Akhirnya, bank sampah harus dihentikan sementara.

Membangkitkan Musik Tradisional

Ketika bank sampah tak lagi aktif, Fauzi kembali memutar otak. Ia melihat banyak pemuda di desanya yang mulai terjerumus dalam pergaulan yang kurang sehat. Beberapa dari mereka gemar begadang tanpa arah, bahkan ada yang mulai terlibat dalam kebiasaan kurang baik.

Alih-alih menegur atau menghakimi, Fauzi memilih pendekatan yang lebih bijak. Ia mengajak mereka ke dunia seni, khususnya musik tradisional. Kebetulan, ia sendiri tertarik dengan angklung—alat musik khas Indonesia yang belum banyak dimainkan di Situbondo.

Anak-anak dari komunitas Argelo berlatih memainkan angklung dan alat musik tradisional lainnya di Alun-Alun Situbondo, melestarikan budaya lokal.Dokumentasi dari Ahmad Fauzi, yang terus mendukung pelestarian seni dan budaya lokal

Fauzi belajar angklung secara otodidak sebelum mengajarkannya kepada anak-anak muda di sekitarnya. Hasilnya luar biasa! Mereka tidak hanya belajar memainkan angklung, tetapi juga mulai mendapat undangan untuk tampil di berbagai acara, dari pernikahan hingga festival budaya. Bahkan, komunitas musik ini berhasil meraih juara dalam beberapa kompetisi, termasuk Juara 2 Lomba Musik Patrol Etnik Non Elektrik yang diselenggarakan oleh UKM Tari dan Karawitan Unars Situbondo tahun 2021.

Tak hanya tampil di panggung besar, mereka juga kerap bermain di lampu merah alun-alun Situbondo, menghibur masyarakat sambil mengasah keterampilan. Musik, yang awalnya hanya menjadi alat untuk menjauhkan pemuda dari hal negatif, kini berkembang menjadi gerakan yang membanggakan. Ya meskipun harus terhenti juga karena alasan yang sama.

Mewujudkan Kebun Percontohan

Saat ini, Fauzi kembali ke akar perjuangannya—pertanian dan lingkungan. Ia membuka lahan sendiri untuk dijadikan kebun sayur dan tanaman obat. Tak hanya itu, ia juga bekerja sama dengan posyandu dan pemuda sekitar untuk menjadikan kebunnya sebagai tempat edukasi bagi masyarakat.

Beberapa tanaman hasil kebun yang Fauzi dan warga tanam dan rawat
Tak perlu kerepotan saat membutuhkan sayur dan bahan pangana lain, tinggal petik

Kebun ini mendapat dukungan dari pemerintah daerah dan mulai sering dikunjungi oleh berbagai pihak, termasuk aku yang kini tengah berdiri di tengah hijaunya tanaman yang ia rawat dengan penuh cinta. Melihat hasil jerih payahnya, aku bisa merasakan betapa besarnya dampak yang telah ia ciptakan bagi komunitasnya.

Menutup dengan Harapan

Kisah Ahmad Fauzi bukan hanya tentang kebun, bank sampah, atau musik tradisional. Ini adalah kisah tentang ketekunan, adaptasi, dan keberanian untuk terus mencoba hal baru demi kebaikan bersama.

Petakan tanah di kebun sedang dipersiapkan untuk penanaman bibit baru, mendukung pertanian berkelanjutan di Situbondo.
Tanah yang siap ditanami adalah awal dari panen yang berkualitas. Petakan demi petakan dipersiapkan untuk bibit baru yang akan tumbuh subur.

Di saat banyak pemuda memilih jalan yang lebih mudah, Fauzi memilih jalan yang lebih bermakna—menginspirasi dan membawa perubahan nyata bagi lingkungannya. Ia bukan hanya seorang pemuda Situbondo yang inovatif, tetapi juga bukti bahwa satu orang dengan tekad kuat bisa menggerakkan banyak orang untuk menciptakan sesuatu yang lebih baik.

Dan ketika aku melangkah meninggalkan kebunnya, aku membawa serta inspirasi yang begitu dalam: bahwa sekecil apa pun tindakan kita, jika dilakukan dengan ketulusan, akan meninggalkan jejak yang tak terlupakan.

Comments