Di sudut meja yang mulai berdebu, aku menarik laci yang hampir terlupakan. Tube-tube kecil cat akrilik berbaris di dalamnya, beberapa masih tertutup rapat, sementara yang lain sudah mulai mengering di tepinya. Ada rasa rindu yang tiba-tiba menyeruak. Sudah lama aku tidak menyentuh kuas dan kanvas.
Kesempatan itu datang dari sebuah ajakan—kolaborasi dengan tiga komunitas besar di Jakarta untuk sebuah acara seni dan edukasi di bawah naungan Kompasiana, yaitu Ketapels, KOMiK, dan Ladiesiana.
![]() |
Kredit: KOMiK |
Aku, seorang pelukis amatir dari Situbondo, ditawarkan untuk menjadi sponsor sebagai bentuk dukungan untuk acara "Tur Museum sambil Belajar Nulis Naskah Film". Tentu saja, aku tidak bisa menolak. Setelah berpikir, aku memutuskan untuk mendukung dalam bentuk lukisan kanvas. Bagiku, seni bukan hanya tentang menciptakan sesuatu yang indah, tapi juga tentang berbagi makna dan emosi dengan orang lain.
Menyentuh Kembali Kanvas yang Terlupakan
Aku menuangkan sedikit demi sedikit cat ke dalam palet. Beberapa warna mengalir dengan mudah, sementara yang lain sudah mulai mengering, terlalu lama terdiam di sudut laci. Aku menekan-nekan tabungnya, berharap masih ada yang tersisa. Aku mencampurkan beberapa warna berulang kali, mencari gradasi yang tepat, menyesuaikan nada biru dan hijau yang ingin kuciptakan.
Sapuan pertama terasa asing, tapi juga akrab. Ada sensasi yang menenangkan ketika kuas menyentuh kanvas, membentuk garis-garis yang perlahan menemukan bentuknya. Aku memilih gaya surealis, membebaskan pikiranku untuk bermain dengan warna dan simbol. Lukisan ini bukan sekadar ekspresi, tapi juga refleksi dari perjalanan visual dan emosionalku sebagai pecinta film dan serial.
Kisah yang Tertanam dalam Warna dan Simbol
Lukisan pertamaku lahir dari gabungan berbagai pengalaman menonton yang membekas dalam benakku. Aku mengadaptasi elemen dari film dan serial yang pernah kutonton, meramunya menjadi cerita visual yang hidup di atas kanvas.
Gradasi biru dan hijau mewakili dunia yang berbeda—dimensi lain yang sering muncul dalam fiksi ilmiah dan fantasi. Biru untuk misteri, ketenangan, dan kedalaman emosi. Hijau untuk kehidupan, pertumbuhan, dan ketahanan.
Matahari selalu menjadi simbol harapan dalam karyaku. Dalam dunia yang gelap sekalipun, selalu ada secercah cahaya yang menghangatkan.
Tangan-tangan yang menjulur—bisa jadi cerminan dari ketakutan, atau mungkin harapan yang mencoba meraih kita dari dunia yang tak terlihat.
Setiap detail dalam lukisan ini adalah pecahan dari kisah-kisah yang pernah kusaksikan. Dari The Last of Us yang menghadirkan dunia post-apocalyptic dengan warna-warna tanah, hingga Doctor Strange yang mengajakku menjelajah dimensi yang penuh misteri. Lukisan ini adalah potongan dari dunia-dunia itu, dijahit menjadi satu dalam bentuk yang baru.
Keindahan yang Tidak Harus Sempurna
Lukisan kedua sebenarnya sudah lama kusimpan. Aku selalu merasa kamarku belum cukup estetik untuk memajangnya. Tapi alih-alih membiarkannya teronggok di sudut, aku memutuskan untuk memberikannya sebagai bingkisan untuk acara ini.
Dalam lukisan ini, seorang perempuan berdiri dengan kepala yang dihiasi bunga. Ada kesan magis dalam sosoknya—seakan ia adalah bagian dari alam itu sendiri. Aku awalnya ingin menambahkan lebih banyak detail, lebih banyak bunga, lebih banyak warna. Tapi terkadang, keindahan justru muncul dalam bentuk yang lebih sederhana.
Perempuan bermahkota bunga melambangkan hubungan manusia dengan alam, keindahan yang tumbuh dari dalam dirinya.
Bunga yang terbatas—sebuah refleksi dari harapan dan kenyataan. Kita sering menginginkan lebih, tapi keindahan tak selalu harus melimpah.
Latar belakang gelap memperjelas setiap elemen di dalamnya, menunjukkan bahwa sesuatu yang indah bisa tetap bersinar meski berada di tengah kegelapan.
Lukisan ini adalah metafora tentang kehidupan. Kadang, kita berencana untuk menciptakan sesuatu yang besar, tapi pada akhirnya, apa yang tersisa tetap memiliki makna yang mendalam.
Harapan Seorang Pelukis Amatir dari Situbondo
Setelah lukisan-lukisan ini berpindah tangan, ada satu harapan yang terbersit dalam benakku: semoga mereka tidak hanya tersimpan di gudang, tidak terlupakan dalam tumpukan barang lama. Aku ingin mereka dipajang, dinikmati, menjadi bagian dari ruang yang hidup.
Aku berharap pemiliknya merawatnya seperti anak sendiri—menatapnya dengan bangga, memahami cerita yang tersembunyi di dalamnya. Sebab bagiku, lukisan bukan hanya tentang warna dan bentuk, tapi juga tentang emosi dan cerita yang ingin disampaikan.
Aku mungkin hanya seorang pelukis lokal dari Situbondo, tapi kesempatan untuk berkolaborasi dengan komunitas hebat di Jakarta ini membuatku percaya bahwa seni tidak mengenal batas. Mungkin suatu hari nanti, aku bisa berkolaborasi lagi—bukan hanya dengan komunitas, tapi juga dengan brand yang memiliki visi yang sama.
Setidaknya, untuk saat ini, aku tahu bahwa ada bagian dari diriku yang hidup dalam sapuan warna di dinding orang lain. Dan itu sudah cukup membuatku bahagia.
Comments