Sebagian kru, pemain, dan sponsor Film Pendek Lastarè berfoto bersama saat premiere di Hotel Rosali (fotografer: Syah Arif Fammada) |
Aku masih ingat bagaimana semuanya dimulai. Awalnya, kami adalah orang-orang asing satu sama lain. Sebelum Ramadan 2024, aku bertemu dengan Dinda, Akbar, Thufeil, dan Afrizal—bukan karena kebetulan, tetapi melalui teman yang mempertemukan kami dengan satu tujuan: membuat sebuah film pendek Situbondo.
Ide awal memang datang dariku, sebuah kisah tentang perundungan, sesuatu yang begitu dekat denganku, bukan hanya sebagai isu sosial tetapi sebagai pengalaman pribadi. Aku menyerahkan skenario awal kepada Dinda untuk diperbaiki, dan sejak saat itu, dia menjadi sutradara Lastarè dan cerita mengalami banyak perubahan untuk disesuaikan dengan kondisi.
Membiarkan Luka & Trauma Bullying Bicara dalam Film
![]() |
Film pendek Lastarè ini mengangkat pesan anti-bullying di mana perundungan biasa terjadi di sekolah dari tahun ke tahun |
Perundungan bukan sekadar cerita di media sosial atau sekumpulan data statistik yang menakutkan. Ia nyata, meninggalkan luka yang tak selalu terlihat, tapi terasa. Karena aku sendiri pernah menjadi korban, aku ingin film ini menangkap sisi terdalam dari pengalaman itu. Sebagai seorang penulis puisi, aku sadar bahwa perasaan paling jujur sering kali muncul dalam kata-kata yang disusun dengan hati-hati. Maka, kami sepakat untuk membentuk Lastarè sebagai film puitis—bukan sekadar bercerita, tetapi membiarkan karakter utama, Irfan, bermonolog dengan dirinya sendiri.
Hari-hari berlalu, dan film ini berkembang. Kami tidak lagi hanya berlima. Mahasiswa Unars mulai bergabung dalam tim, membawa ide-ide segar yang memperkaya film ini. Salah satu perubahan terbesar adalah keputusan untuk menggunakan bahasa Madura. Dengan bantuan Ach. Lubaidillah, kami mengadaptasi dialog dan monolog dalam film ini agar lebih autentik, memberikan suara yang lebih dalam pada budaya lokal Situbondo.
Antara Cahaya Kamera dan Bayang-bayang Kesulitan
Proses produksi berjalan lancar meskipun, seperti produksi film pada umumnya, ada drama yang mengharuskan kami berpikir cepat dan beradaptasi dengan keadaan. Namun, tantangan terbesar datang setelah produksi selesai. Saat kami memasuki tahap post-produksi, Akbar dan Thufeil mengalami kecelakaan. Akbar, yang bertanggung jawab atas editing suara, dan Thufeil, editor utama, harus menghentikan pekerjaan mereka untuk fokus pada pemulihan. Ini membuat proses editing tertunda hingga Januari 2025, sesuatu yang di luar dugaan kami.
![]() |
Proses mengulik musik untuk Film anti-bullying bernuansa budaya Situbondo inj cukup rumit karena harus menyesuaikan dengan monolog |
Namun, kami tidak bisa menunggu lebih lama. Premiere harus dilakukan sebelum Ramadan, karena kami ingin film ini mendapatkan perhatian yang layak sebelum masuk ke bulan suci. Rauljef Nafi Isbat dan Ahmad Zakariya kemudian bergabung, membawa keahlian mereka dalam musik tradisional.
Baca juga: Belum mengunjungi Kampung Kerbau Situbondo?
Rauljef, yang pernah menempuh pendidikan di Karawitan, membuat scoring dengan sentuhan yang sangat khas: suara rebab dan salah satu instrumen gamelan yang lembut namun memilukan. Ahmad Zakariya, dengan keterampilannya dalam ngejung—seni vokal khas Madura—melengkapi nuansa film ini, menjadikannya lebih dari sekadar tontonan, tetapi pengalaman budaya yang mendalam.
Beruntung, dalam perjalanan ini kami tidak berjalan sendiri. Beberapa pihak dengan tangan terbuka memberikan dukungan agar produksi tetap berjalan. KOMiK menjadi sponsor awal yang membantu pendanaan, disusul dukungan dari Stasiun Kopi Kang Dodik sebagai sponsor utama yang memastikan kebutuhan tim terpenuhi. Takanta.id, Hotel Rosali, Universitas Abdurrahman Saleh, Uniksi, KR Brownies, Fortuna Cafe, Muhammad Ramadhan, dan Rebus Susanto juga turut berperan dalam mendukung film ini, mulai dari transportasi hingga konsumsi untuk tim produksi.
![]() |
Grafis: Ansa |
Dengan bantuan mereka, tantangan yang kami hadapi terasa lebih ringan. Ini juga menjadi bukti bahwa banyak pihak yang percaya pada cerita Lastarè dan ingin melihatnya menjadi nyata.
Premiere Lastarè: Sebuah Selebrasi dan Awal Perjalanan
![]() |
Produser, Sutradara, dan dua pemain utama melakukan sesi QnA di acara premiere film pendek Lastarè (fotografer: Syah Arif Fammada) |
Pada 27 Februari 2025, Lastarè akhirnya dipertontonkan untuk pertama kalinya dalam sebuah acara premiere yang penuh makna. Bertempat di Jasmine Meeting Room, Hotel Rosali, acara ini dipandu oleh Gustav Nafi Isbat dan Annisa Putri Chesillia Haq, dua Kakang Embug Situbondo berbakat. Gustav, yang pernah meraih posisi Raka Raki Intelegensia Jawa Timur 2024, dan Annisa, yang memenangkan The Best Social Project Advocacy 2024, menghadirkan suasana yang elegan namun tetap hangat.
![]() |
Berfoto bersama dua MC muda berbakat di Situbondo (fotografer: Syah Arif Fammada) |
Lebih dari 100 orang hadir, mulai dari mahasiswa, akademisi, seniman, hingga masyarakat umum. Film ini diputar dalam suasana hening, hanya sesekali terdengar helaan napas panjang atau bisikan pelan—tanda bahwa pesan dalam film ini benar-benar menyentuh hati mereka. Setelah pemutaran, sesi diskusi berlangsung dengan antusias. Banyak yang mengapresiasi penggunaan bahasa Madura, monolog yang puitis, dan bagaimana film ini menggambarkan dampak perundungan tanpa perlu banyak dialog eksplisit.
Film Pendek Lastarè: Dari Situbondo untuk Dunia
![]() |
Pergolakan batin seorang Irfan menghadapi traumanya sangat berat |
Lastarè bukan hanya sebuah film pendek. Ia adalah suara bagi mereka yang pernah terjebak dalam gelapnya perundungan, sebuah refleksi bagi kita semua untuk lebih peka terhadap orang-orang di sekitar. Film ini juga merupakan bentuk dedikasi kami untuk mengenalkan budaya Situbondo—dari bahasa, rumah tradisional Tabing Tongkok, hingga musik yang memperkuat nuansa emosionalnya.
Kami berharap Lastarè bisa melangkah lebih jauh. Film ini akan dikirim ke berbagai festival film, baik nasional maupun internasional, membawa nama Situbondo ke panggung yang lebih besar. Dengan dukungan dari komunitas, seniman, dan berbagai pihak yang percaya pada proyek ini, kami optimis bahwa Lastarè bisa menjadi lebih dari sekadar film—ia bisa menjadi gerakan, sebuah percakapan yang lebih luas tentang perundungan, tentang seni, dan tentang identitas budaya kita.
Film ini diperankan oleh Achmad Rizal Basri, ia dengan apik membawakan karakter Irfan dan perjalanan batinnya. Didukung juga oleh Ach. Lubaidillah, Virgiawan Ramdhana Yonisaputra, Balqis Nurul Aini, Muhammad, Royhan Hariri, Syarif Bolank, dan Al Insyira Rayhan Nafi, mereka berhasil menghidupkan cerita dengan emosi yang kuat dan autentik.
Ketika lampu di Jasmine Meeting Room menyala setelah pemutaran pertama, aku menatap wajah-wajah yang masih terdiam, mencerna apa yang baru saja mereka saksikan. Aku tahu, di antara mereka, pasti ada yang pernah merasakan apa yang Irfan rasakan. Dan jika film ini bisa membuat satu saja dari mereka merasa lebih dimengerti, lebih berani, lebih terdengar—maka semua perjalanan ini tidak sia-sia.
Comments