Pagi itu saya sudah melayang-layang di udara. Langit terang, tampaknya matahari sedang bahagia. Beberapa kumpulan awan bersenda gurau dengan sesamanya. Saya lihat ke bawah, hamparan sawah berpetak-petak, ada sungai panjang. Genangan-genangan air pantulkan sinar. Kemudian pemandangan berganti menjadi sekumpulan atap-atap rumah berwarna cokelat-jingga, ada bangunan masjid, pabrik, dan lapangan. Pesawat kecil membawa saya terbang rendah menuju Bandara Ahmad Yani, Semarang. Beberapa kali berpapasan dengan awan-awan kecil serupa kapas. Kenangan tentang gunting dan cutter yang terpaksa ditinggalkan di Bandara Juanda, telah lenyap. Saya lupa menitipkannya ke bagasi. Terciduk di mesin deteksi, petugas meminta saya untuk meninggalkan benda berharga tersebut. Untuk kedua kalinya saya mengunjungi Semarang, kota metropolitan terbesar kelima di Indonesia setelah Jakarta, Surabaya, Medan, dan Bandung. Kota dengan sedikit kenangan buat saya itu ternyata menyimpan banyak sejarah dan s...